Penulis:
Abu Mujahid
Penerbit:
Toobagus Publishing
Cetakan:
-
Ukuran:
17.2 x 25.4 cm
Halaman:
-
ISBN:
978-602-1653-03-6
Jenis
Cover: Soft Cover
Harga:
Rp. 70.000,- Rp. 56.000,-
Warisan-Warisan
“Sang Pembaru”, Berpolitik Bersama Sarekat Islam
Muhammadiyah
VS Nahdlatoel Oelama
Muhammadiyah
di Yogyakarta, Muhammadiyah di Minangkabau
Muhammadiyah
di Palembang, Mas Mansur dan Haji Rasul
Memimpin
Majelis A’la Islam Indonesia dan Partai Islam Indonesia
Masyumi
Made
in
Japan dan Masyumi Made
in
Indonesia
Muhammadiyah
di balik hilangnya “dengan
kewadjiban
Mendjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
Angkatan
Perang Sabil, Muhammadiyah Melawan Belanda
Politik
itu penting, tetapi tidak menjadi bidang garapan Muhammadiyah. Jika
orang Muhammadiyah ingin berjuang ingin berjuang di bidang itu, maka
harus dibuat wadah tersendiri yang berada di luar Muhammadiyah yang
tidak berhubungan secara kelembagaan dengan Muhammadiyah, tetapi
keduanya harus bisa bekerja sama dan harus pula bekerja sama dengan
kekuatan umat lainnya.”
Kata-kata
itu dirumuskan salah seorang tokoh Muhammadiyah ketika Belanda belum
lagi pergi dari Nusantara. Dan sampai hari ini, kata-kata itu menjadi
acuan bagi anggota-anggota Muhammadiyah untuk ikut terlibat di
politik praktis.
Muhammadiyah
antara gerakan tajdid dengan tanda kutip. Setelah berjuang menjadikan
pembaruan di bidang pendidikan agama, tokoh-tokoh Muhammadiyah
sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan mulai berpikir tentang sesuatu yang
baru di bidang politik. Bagi mereka, Islam adalah sempurna. Berislam
juga berarti berpolitik, meski tanpa melibatkan Muhammadiyah.
Berbeda
dengan bagian pertama yang menelisik Muhammadiyah di zaman K.H. Ahmad
Dahlan. Pada bagian ini, akan didedah tahun-tahun pertama
Muhammadiyah terlibat dalam politik praktis yang dalam istilah
penulis buku ini disebut masa ketika Muhammadiyah mulai beranjak
dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar